Sunday, September 19, 2010

AL GHULUW FIT TAKFIER

Abu Saif Azzam MuttaqinSeptember 17, 2010 at 8:07pm
Subject: AL GHULUW FIT TAKFIER 1 bag 15
Ibnu Jarir Ath Thabari berkata di dalam Tafsirnya: “Ini termasuk dalil yang paling menunjukan kekeliruan orang yang mengklaim bahwa seorangpun tidak menjadi kafir kepada Allah kecuali kalau dia bermaksud untuk kafir setelah dia mengetahui keesaan Allah…” sampai ucapannya ” Seandainya masalahnya seperti apa yang mereka klaim bahwa seorangpun tidak menjadi kafir kepada Allah kecuali setelah dia mengetahui, tentu mestilah orang-orang yang mana di dalam amalannya itu Allah subhanahu wa ta’ala telah mengabarkan bahwa mereka itu mengira berbuat sebaik-baiknya, mestilah mereka itu mandapatkan pahala atasnya, akan tetapi pendapat yang benar adalah tidak seperti apa yang mereka katakan; di mana Allah subhanahu wa ta’ala mengabarkan bahwa mereka itu adalah kafir terhadap Allah dan bahwa amalan mereka itu terhapus.” Hal 44-45 terbitan Darul Fikr.

Beliau rahimahullah berkata di dalam Tahdzibul Atsar setelah menuturkan hadits-hadits tentang Khawarij: “ Di dalamnya terdapat bantahan kepada orang yang mengatakan bahwa seorangpun dari ahli kiblat tidak dikeluarkan dari Islam setelah dia berhak mendapatkan vonisnya kecuali bila dia bermaksud keluar darinya seraya mengetahui.” Dinukil dari Fathul Bari (Kitab Istitabatul Murtaddin…) (Bab Man Taraka Qitalal Khawarij).

Dan Ibnu Hajar sendiri berkata di dalam bab yang sama: “Di dalamnya ada penjelasan yang menunjukan bahwa di antara kaum muslimin ada orang yang keluar dari agama ini tanpa ada maksud dia untuk keluar darinya, dan tanpa memilih agama yang lain selain Islam.” Selesai.

Dan kesimpulannya di sini adalah: Bahwa yang menjadi patokan di dalam pensyaratan adanya kesengajaan dan maksud atau ketidakadaan maksud tersebut sebagai suatu penghalang dari sekian penghalang pengkafiran adalah si orang bermaksud melakukan perbuatan yang mukaffir, bukan bermaksud untuk kafir.

2). Takwil:

Maksudnya di sini adalah menempatkan dalil syar’iy bukan pada tempatnya dengan sebab ijtihad atau syubhat yang muncul karena ketidakpahaman terhadap dilalah nash atau memahaminya dengan pemahaman yang salah atau menduga suatu yang bukan dalil sebagai dalil, seperti berdalil dengah hadits dlaif yang dia kira shahih, sehingga si mukallaf itu melakukan kekafiran yang dia kira bukan kekafiran, sehingga dengan sebab itu hilanglah syarat kesengajaan, dan kekeliruan di dalam takwil ini menjadi penghalang dari pengkafiran. Kemudian bila hujjah telah ditegakkan terhadapnya serta dijelaskan kekeliruannya, namun dia tetap bersikukuh di atasnya maka dia kafir.

Dan dalil atas hal ini adalah ijma para sahabat yang menganggap bahwa macam takwil ini adalah tergolong kekeliruan yang Allah subhanahu wa ta’ala ampuni dengan dalil-dalil yang telah lalu, dan ini pada kisah Qudamah Ibnu Madh’un di mana ia dan para sahabatnya meminum khamr seraya berdalil dengan firman Allah subhanahu wa ta’ala:

“Tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan yang saleh karena memakan makanan yang telah mereka makan dahulu, apabila mereka bertakwa serta beriman, dan mengerjakan amalan-amalan yang saleh, kemudian mereka tetap bertakwa dan beriman, kemudian mereka (tetap juga) bertakwa dan berbuat kebajikan. dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (Al Maidah: 93)

sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abdurrazzaq di dalam Mushannafnya. Di mana Qudamah ini telah ditugaskan oleh Umar untuk mengurusi Bahrain, kemudian tatkala Abu Hurairah dan yang lainnya juga isteri Qudamah bersaksi bahwa ia telah meminum khamr, maka Umar memanggilnya dan memecatnya, dan tatkala beliau mau menghukumnya dengan had khamr, maka Qudamah berdalil dengan ayat tadi, maka Umar berkata: Kamu salah takwil.” Ibnu Taimiyyah berkata di dalam Ash Sharim: “Sampai akhirnya pendapat umar dan ahli syura bersepakat untuk mengistitabah Qudamah dan para sahabatnya, kemudian bila mereka mengakui keharaman khamr maka mereka akan didera dan bila tidak mengakui haram maka mereka dikafirkan.” Selesai hal 530…..kemudian sesungguhnya Umar menjelaskan kekeliruannya dan berkata: “Sesungguhnya bila kamu andaikata bertaqwa tentu kamu menjauhi apa yang diharamkan terhadapmu dan kamu….” maka ia rujuk, dan akhirnya tidak dikafirkan dengan sebabnya, namun cukup dengan penegakkan had khamr terhadapnya dan tidak seorangpun dari para sahabat menyelisihinya.

Dan dalam hal ini Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “adapun orang yang belum tegak hujjah terhadapnya seperti orang yang baru masuk Islam atau hidup di pedalaman yang jauh yang belum sampai kepadanya syari’at-syari’at Islam dan orang yang seperti itu, atau dia keliru sehingga menduga bahwa orang-orang yang beriman dan beramal saleh itu dikecualikan dari pengharaman khamr, sebagaimana kekeliruan yang dilakukan oleh orang-orang yang diistitabah oleh Umar dan yang semacam itu, maka sesungguhnya mereka itu diistitabah dan ditegakkan hujjah terhadapnya, kemudian bila mereka bersikukuh maka mereka kafir, dan mereka tidak divonis kafir sebelum itu sebagaimana para sahabat tidak mengkafirkan Qudamah Ibnu Madh’un dan para sahabatnya tatkala mereka keliru di dalam takwil yang tadi.” Majmu Al Fatawa 7/609-610.

Dan berkata juga: Orang yang melakukan takwil dan orang yang jahil yang diudzur, hukumnya adalah tidak sama dengan hukum orang yang mu’anid dan yang aniaya, akan tetapi Allah telah menjadikan ketentuan bagi setiap sesuatu.” Majmu Al Fatawa 3/180.

Jadi madzhab salaf adalah tidak mengkafirkan orang-orang yang melakukan takwil dari kalangan ahli kiblat.

Ahli kiblat itu masuk di dalamnya di samping orang muslim sunni adalah orang fasiq ‘amali, dan ahli bid’ah yang mentakwil.

Adapun Khawarij, Mu’tazilah dan orang-orang yang sejalan dengan mereka seperti Zaidiyyah dan sebagian ahli kalam seperti Asy Syahrastani di dalam Al Milal wan Nihal, maka mereka itu tidak memasukan ahli takwil di dalam ahli kiblat.

Dan telah lalu apa yang dinukil oleh Al Qadli ‘Iyadl di dalam (pasal, Tahqiqul Qaul Fi Ikfaaril Muta’awwilin) di kitabnya Asy Syifa 2/277 dari para ‘ulama muhaqqiqin, ucapan mereka: “Sesungguhnya wajib menghindari dari mengkafirkan orang-orang yang melakukan takwil, karena penghalalan darah orang-orang yang shalat lagi bertauhid itu adalah berbahaya…” dan nanti akan datang pengisyaratan apa yang beliau sebutkan di dalam Asy Syifa tentang orang yang tidak mengkafirkan orang yang menambahkan sesuatu (sifat) yang tidak layak kepada Allah tapi bukan dalam rangka celaan dan kemurtaddan, namun karena takwil atau penafian sifat dengan klaim ingin mensucikan Allah dan yang serupa itu.

Ibnul Wazir berkata: “Firman Allah subhanahu wa ta’ala di dalam ayat ini:

“akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran..” (An Nahl: 106) menguatkan bahwa orang-orang yang melakukan takwil itu bukan orang kafir, karena dada mereka tidak lapang dengan kekafiran secara pasti ataupun dugaan, atau pembolehan atau kemungkinan.” Itsarul Haq ‘Alal Khalq hal: 437.

Adapun apa yang dijadikan tameng oleh kaum zindiq yang mulhid bagi kekafiran mereka yang jelas berupa omong kosong dan pengkaburan serta sikap mempermainkan agama, maka ia itu walaupun dinamakan takwil oleh sebagian orang-orang yang bodoh, akan tetapi sesungguhnya ia itu adalah tertolak lagi tidak bisa dicerna dan tidak bisa diterima. Dan itu dikarenakan nyatanya kekafiran mereka, sedangkan yang menjadi patokan itu adalah makna kandungan dan hakikat isi bukan sekedar penamaan dan ungkapan kata yang biasa dijadikan permainan oleh banyak kalangan pengikut hawa nafsu, di mana banyak sekali kebatila yang dihiasi indah oleh para penganutnya dalam rangka menyelisihi syari’at.

Oleh sebab itu Al Qadli ’Iyadl menukil ucapan para ‘ulama di dalam Asy Syifa: Klaim takwil di dalam kalimat yang jelas adalah tidak diterima.” 2/217.

Dan hal itu ditegaskan juga oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah di dalam Ash Sharim Al Maslul hal 527.

Barangsiapa dikenal kezindiqannya serta permainannya terhadap dalil-dalil syar’iy atau dia melakukan suatu sebab kekafiran yang nyata lagi jelas yang tidak memiliki kemungkinan takwil, maka klaim takwil darinya tidak bisa diterima, karena di sana tidak ada ijtihad dan tidak ada takwil yang membolehkan untuk melakukan kekafiran yang nyata, di mana hampir semua orang kafir memiliki hujjah takwil yang rusak yang dengannya dia menambali kekafirannya.

Oleh sebab itu Ibnu Hazm berkata: “Barangsiapa telah sampai kepadanya suatu urusan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan cara yang tsabit, sedangkan dia itu muslim, terus dia melakukan takwil yang menyelisihinya, atau bisa saja sampai kepadanya nash yang lain, maka hujjah belum tegak terhadapnya di dalam kekeliruan dia meninggalkan apa yang dia tinggalkan dan di dalam kekeliruan dia mengambil apa yang dia ambil, maka dia itu mendapatkan pahala lagi diudzur, karena dia memaksudkan kepada al haq namun dia tidak mengetahuinya, namun bila telah tegak hujjah terhadapnya di dalam hal itu terus dia bersikukuh, maka tidak ada takwil setelah tegak hujjah.” Ad Durrah 414.

Dan berkata: Adapun orang-orang yang bukan muslim baik itu nasrani, atau yahudi, atau majusi, atau agama-agama lainnya atau kaum kebatinan yang mengatakan ketuhanan manusia tertentu atau yang mengatakan kenabian seseorang setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka mereka itu tidak diudzur sama sekali dengan sebab takwil, namun mereka itu justeru adalah kaum kafir yang musyrik.” Ad Durrah Fima Yajibu I’tiqaduhu hal 441.

No comments:

Post a Comment