Syarat- syarat Kalimat Tauhid ( لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ )
Bismillah,
Donlot Audio :
Nara Sumber : Al-Ustadz Muhammad Umar As-Sewwed
Kalimat tauhid mempunyai keutamaan yang sangat agung. Dengan kalimat tersebut seseorang akan dapat masuk surga dan selamat dari api neraka. Sehingga dikatakan kalimat tauhid merupakan kunci surga. Barangsiapa yang akhir kalimatnya adalah لا إله إلا الله maka dia termasuk ahlul jannah (penghuni surga).
Namun sebagaimana dikatakan dalam kitab Fathul Majid (Syaikh Abdurrahman Alu Syaikh) bahwa setiap kunci memiliki gigi-gigi. Dan tanpa gigi-gigi tersebut tidak dapat dikatakan kunci dan tidak bisa dipakai untuk membuka. Gigi-gigi pada kunci surga tersebut adalah syarat-syarat لا إله إلا الله Barang siapa memenuhi syarat-syarat tersebut dia akan mendapatkan surga, sedangkan barang siapa yang tidak melengkapinya maka ucapannya hanya igauan tanpa makna.
Ketika Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- memberikan jaminan surga kepada orang-orang mukmin, Rasulullah menyebutkannya degan lafadz:
مَنْ شَهِدَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ. - متفق عليه
“Barang siapa yang bersaksi bahwasanya tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi kecuali Allah“ (HR. Bukhari Muslim)
Lafadz شَهِدَ (bersaksi) bukanlah sekedar ucapan, karena persaksian lebih luas maknanya daripada ucapan. Lafadz ini mengandung ucapan dengan lisan, ilmu, pemahaman, keyakinan dalam hati dan pembuktian dengan amalan.
Bukankah kita ketahui bahwa seseorang yang mempersaksikan suatu persaksian di hadapan hakim di pengadilan, tidak akan diterima jika saksi tersebut tidak mengetahui atau ia tidak memahami apa yang dia ucapkan? Bukankah pula jika ia berbicara dengan ragu dan tidak yakin juga tidak akan diterima persaksiannya? Demikian pula persaksian seseorang yang bertentangan dengan perbuatannya sendiri, tidak akan dipercaya oleh pengadilan manapun. Hal ini jika ditinjau dari makna شهد (mempersaksikan).
Oleh karena itu sebatas mengucapkannya tanpa adanya pengetahuan tentang maknanya, keyakinan hati, dan tanpa pengamalan terhadap konsekwensi-konsekwensinya baik berupa pensucian diri dari noda kesyirikan maupun pengikhlasan ucapan dan amalan–ucapan hati dan lisan, amalan hati dan anggota badan maka hal tersebut tidaklah bermanfaat menurut kesepakatan para ulama (lihat Fathul Majid, Abdurrahman Alu Syaikh, hal. 52).
Itulah hakikat makna syahadat yang harus ditunjukkan dengan adanya keikhlasan dan kejujuran yang mana keduanya harus berjalan beriringan dan tidak dapat dipisahkan antara satu dengan lainnya.
Jika tidak mengikhlaskan persaksiannya berarti dia adalah musyrik dan apabila tidak jujur dalam persaksiannya berarti dia munafiq.
Jadi, persaksian kalimat لا إله إلا الله yang merupakan kunci untuk membuka pintu surga tentu harus memiliki harus syarat-syarat.
Apa saja syarat-syaratnya? Silakan mendengar kajian berikut ini, atau:
Donlot Audio :
Syarat- syarat Kalimat Tauhid ( لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ )
Bismillah,
Donlot Audio :
Syarat- syarat Kalimat Tauhid ( لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ )
(Kitab Fathul Majid)
Nara Sumber : Al-Ustadz Muhammad Umar As-Sewwed
Kalimat tauhid mempunyai keutamaan yang sangat agung. Dengan kalimat tersebut seseorang akan dapat masuk surga dan selamat dari api neraka. Sehingga dikatakan kalimat tauhid merupakan kunci surga. Barangsiapa yang akhir kalimatnya adalah لا إله إلا الله maka dia termasuk ahlul jannah (penghuni surga).
Namun sebagaimana dikatakan dalam kitab Fathul Majid (Syaikh Abdurrahman Alu Syaikh) bahwa setiap kunci memiliki gigi-gigi. Dan tanpa gigi-gigi tersebut tidak dapat dikatakan kunci dan tidak bisa dipakai untuk membuka. Gigi-gigi pada kunci surga tersebut adalah syarat-syarat لا إله إلا الله Barang siapa memenuhi syarat-syarat tersebut dia akan mendapatkan surga, sedangkan barang siapa yang tidak melengkapinya maka ucapannya hanya igauan tanpa makna.
Ketika Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- memberikan jaminan surga kepada orang-orang mukmin, Rasulullah menyebutkannya degan lafadz:
مَنْ شَهِدَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ. - متفق عليه
“Barang siapa yang bersaksi bahwasanya tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi kecuali Allah“ (HR. Bukhari Muslim)
Lafadz شَهِدَ (bersaksi) bukanlah sekedar ucapan, karena persaksian lebih luas maknanya daripada ucapan. Lafadz ini mengandung ucapan dengan lisan, ilmu, pemahaman, keyakinan dalam hati dan pembuktian dengan amalan.
Bukankah kita ketahui bahwa seseorang yang mempersaksikan suatu persaksian di hadapan hakim di pengadilan, tidak akan diterima jika saksi tersebut tidak mengetahui atau ia tidak memahami apa yang dia ucapkan? Bukankah pula jika ia berbicara dengan ragu dan tidak yakin juga tidak akan diterima persaksiannya? Demikian pula persaksian seseorang yang bertentangan dengan perbuatannya sendiri, tidak akan dipercaya oleh pengadilan manapun. Hal ini jika ditinjau dari makna شهد (mempersaksikan).
Oleh karena itu sebatas mengucapkannya tanpa adanya pengetahuan tentang maknanya, keyakinan hati, dan tanpa pengamalan terhadap konsekwensi-konsekwensinya baik berupa pensucian diri dari noda kesyirikan maupun pengikhlasan ucapan dan amalan–ucapan hati dan lisan, amalan hati dan anggota badan maka hal tersebut tidaklah bermanfaat menurut kesepakatan para ulama (lihat Fathul Majid, Abdurrahman Alu Syaikh, hal. 52).
Itulah hakikat makna syahadat yang harus ditunjukkan dengan adanya keikhlasan dan kejujuran yang mana keduanya harus berjalan beriringan dan tidak dapat dipisahkan antara satu dengan lainnya.
Jika tidak mengikhlaskan persaksiannya berarti dia adalah musyrik dan apabila tidak jujur dalam persaksiannya berarti dia munafiq.
Jadi, persaksian kalimat لا إله إلا الله yang merupakan kunci untuk membuka pintu surga tentu harus memiliki harus syarat-syarat.
Apa saja syarat-syaratnya? Silakan mendengar kajian berikut ini, atau:
Donlot Audio :
Syarat- syarat Kalimat Tauhid ( لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ )
(Kitab Fathul Majid)
Nara Sumber : Al-Ustadz Muhammad Umar As-Sewwed
Kalimat tauhid mempunyai keutamaan yang sangat agung. Dengan kalimat tersebut seseorang akan dapat masuk surga dan selamat dari api neraka. Sehingga dikatakan kalimat tauhid merupakan kunci surga. Barangsiapa yang akhir kalimatnya adalah لا إله إلا الله maka dia termasuk ahlul jannah (penghuni surga).
Namun sebagaimana dikatakan dalam kitab Fathul Majid (Syaikh Abdurrahman Alu Syaikh) bahwa setiap kunci memiliki gigi-gigi. Dan tanpa gigi-gigi tersebut tidak dapat dikatakan kunci dan tidak bisa dipakai untuk membuka. Gigi-gigi pada kunci surga tersebut adalah syarat-syarat لا إله إلا الله Barang siapa memenuhi syarat-syarat tersebut dia akan mendapatkan surga, sedangkan barang siapa yang tidak melengkapinya maka ucapannya hanya igauan tanpa makna.
Ketika Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- memberikan jaminan surga kepada orang-orang mukmin, Rasulullah menyebutkannya degan lafadz:
مَنْ شَهِدَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ. - متفق عليه
“Barang siapa yang bersaksi bahwasanya tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi kecuali Allah“ (HR. Bukhari Muslim)
Lafadz شَهِدَ (bersaksi) bukanlah sekedar ucapan, karena persaksian lebih luas maknanya daripada ucapan. Lafadz ini mengandung ucapan dengan lisan, ilmu, pemahaman, keyakinan dalam hati dan pembuktian dengan amalan.
Bukankah kita ketahui bahwa seseorang yang mempersaksikan suatu persaksian di hadapan hakim di pengadilan, tidak akan diterima jika saksi tersebut tidak mengetahui atau ia tidak memahami apa yang dia ucapkan? Bukankah pula jika ia berbicara dengan ragu dan tidak yakin juga tidak akan diterima persaksiannya? Demikian pula persaksian seseorang yang bertentangan dengan perbuatannya sendiri, tidak akan dipercaya oleh pengadilan manapun. Hal ini jika ditinjau dari makna شهد (mempersaksikan).
Oleh karena itu sebatas mengucapkannya tanpa adanya pengetahuan tentang maknanya, keyakinan hati, dan tanpa pengamalan terhadap konsekwensi-konsekwensinya baik berupa pensucian diri dari noda kesyirikan maupun pengikhlasan ucapan dan amalan–ucapan hati dan lisan, amalan hati dan anggota badan maka hal tersebut tidaklah bermanfaat menurut kesepakatan para ulama (lihat Fathul Majid, Abdurrahman Alu Syaikh, hal. 52).
Itulah hakikat makna syahadat yang harus ditunjukkan dengan adanya keikhlasan dan kejujuran yang mana keduanya harus berjalan beriringan dan tidak dapat dipisahkan antara satu dengan lainnya.
Jika tidak mengikhlaskan persaksiannya berarti dia adalah musyrik dan apabila tidak jujur dalam persaksiannya berarti dia munafiq.
Jadi, persaksian kalimat لا إله إلا الله yang merupakan kunci untuk membuka pintu surga tentu harus memiliki harus syarat-syarat.
Apa saja syarat-syaratnya? Silakan mendengar kajian berikut ini, atau:
Nara Sumber : Al-Ustadz Muhammad Umar As-Sewwed
Kalimat tauhid mempunyai keutamaan yang sangat agung. Dengan kalimat tersebut seseorang akan dapat masuk surga dan selamat dari api neraka. Sehingga dikatakan kalimat tauhid merupakan kunci surga. Barangsiapa yang akhir kalimatnya adalah لا إله إلا الله maka dia termasuk ahlul jannah (penghuni surga).
Namun sebagaimana dikatakan dalam kitab Fathul Majid (Syaikh Abdurrahman Alu Syaikh) bahwa setiap kunci memiliki gigi-gigi. Dan tanpa gigi-gigi tersebut tidak dapat dikatakan kunci dan tidak bisa dipakai untuk membuka. Gigi-gigi pada kunci surga tersebut adalah syarat-syarat لا إله إلا الله Barang siapa memenuhi syarat-syarat tersebut dia akan mendapatkan surga, sedangkan barang siapa yang tidak melengkapinya maka ucapannya hanya igauan tanpa makna.
Ketika Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- memberikan jaminan surga kepada orang-orang mukmin, Rasulullah menyebutkannya degan lafadz:
مَنْ شَهِدَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ. - متفق عليه
“Barang siapa yang bersaksi bahwasanya tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi kecuali Allah“ (HR. Bukhari Muslim)
Lafadz شَهِدَ (bersaksi) bukanlah sekedar ucapan, karena persaksian lebih luas maknanya daripada ucapan. Lafadz ini mengandung ucapan dengan lisan, ilmu, pemahaman, keyakinan dalam hati dan pembuktian dengan amalan.
Bukankah kita ketahui bahwa seseorang yang mempersaksikan suatu persaksian di hadapan hakim di pengadilan, tidak akan diterima jika saksi tersebut tidak mengetahui atau ia tidak memahami apa yang dia ucapkan? Bukankah pula jika ia berbicara dengan ragu dan tidak yakin juga tidak akan diterima persaksiannya? Demikian pula persaksian seseorang yang bertentangan dengan perbuatannya sendiri, tidak akan dipercaya oleh pengadilan manapun. Hal ini jika ditinjau dari makna شهد (mempersaksikan).
Oleh karena itu sebatas mengucapkannya tanpa adanya pengetahuan tentang maknanya, keyakinan hati, dan tanpa pengamalan terhadap konsekwensi-konsekwensinya baik berupa pensucian diri dari noda kesyirikan maupun pengikhlasan ucapan dan amalan–ucapan hati dan lisan, amalan hati dan anggota badan maka hal tersebut tidaklah bermanfaat menurut kesepakatan para ulama (lihat Fathul Majid, Abdurrahman Alu Syaikh, hal. 52).
Itulah hakikat makna syahadat yang harus ditunjukkan dengan adanya keikhlasan dan kejujuran yang mana keduanya harus berjalan beriringan dan tidak dapat dipisahkan antara satu dengan lainnya.
Jika tidak mengikhlaskan persaksiannya berarti dia adalah musyrik dan apabila tidak jujur dalam persaksiannya berarti dia munafiq.
Jadi, persaksian kalimat لا إله إلا الله yang merupakan kunci untuk membuka pintu surga tentu harus memiliki harus syarat-syarat.
Apa saja syarat-syaratnya? Silakan mendengar kajian berikut ini, atau:
No comments:
Post a Comment